Selasa, 14 April 2009

TONTONAN YANG MENUNTUN

Berawal dari sebuah kado kenang-kenangan dari seorang kakak untuk anakku yang masih berusia satu tahun, yaitu berupa sebuah CD lagu-lagu anak-anak. Pada mulanya memang aku anggap hadiah biasa, namun setelah aku bawa pulang ke tempat perantauanku di kalimantan ternyata bisa aku jadikan sebuah hadiah yang amat sangat berharga, Karena ternyata isi dari CD itu sangatlah bagus untuk pendidikan anak usia dini seumur anakku sekarang yang baru berumur dua tahun. Tema dari cerita maupun lagu-lagu yang ada didalamnya berupa tuntunan yang sangat baik untuk penanaman budi pekerti yang islami. Yang sangat berguna bagi kehidupan dunia dan ahirat tentunya.

Bagaimana hendaknya seseorang harus memulai suatu perbuatan yang baik, apa yang harus dilakukan seorang muslim bagi Tuhannya. Yang semua itu harus ditanamkan pada seorang anak pada usia dini. Yang jelas isi dari CD tersebut sangat berharga untuk pendidikan usia anak-anak dibandingkan dengan film-film kartun buatan dari luas seperti Ultraman, Power Rangers dan sebagainya. Dan yang lebih penting lagi isi dari CD ini sangat bagus untuk menangkal serangan kaum barat dalam hal pemerosotan aqidah generasi umat islam.

Nahh... kalau pingin tahu isi dari CD itu bisa klik tayangan berikut ini melalui YOU Tube....



Video di atas juga bisa didownloud, caranya adalah sebagai berikut :
yaitu melalui situs www.keepvid.com. Nah, link dari youtube langsung copy paste ke tempat kotak URL di keepvid.com. Lalu tombol download di tekan. Waw… untuk video yang akan saya download, ternyata ada 2 versi linknya (terdapat dibawah kotak URL). Low Quality .flv dan High Quality .mp4.

Penasaran dengan kualitas yang High Quality, langsung saja klik link ›› Download ‹‹ (video.mp4 - High Quality). IDM langsung mengenali file mp4 tersebut dan muncul kotak dialog download. Langsung klik Start Download. Speed downloadnya bisa diandalkan. Kalau sebelumnya mendownload langsung dari youtube hanya sekitar 10KBps, namun sekarang 30an KBps. lumayankan untuk dicoba....

Selasa, 07 April 2009

PEMIMPIN DALAM ILMU HADITS



Dikutip dari Republika Online ; Khasanah ; Dunia Islam Edisi 8 April 2009

Sebelum menetapkan sebuah hadis menjadi sahih, Bukhari senantiasa menelitinya, mulai dari kualitas hadis, jumlah periwayat (perawi), keadilan dan tingkat hafalan periwayat, hingga mutawatir (bersambung) ke Rasulullah.

Imam Bukhari dikenal sebagai seorang ulama dan ahli dalam ilmu hadis. Ketelitian dan kecermatannya untuk mengumpulkan hadis-hadis sahih telah diakui para ulama. Bahkan, kitab hadis yang disusunnya (Sahih Bukhari) menjadi rujukan hampir semua ulama di dunia. Nama besarnya sejajar dengan para ahli hadis yang pernah ada sepanjang zaman. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari.

Dilahirkan di Bukhara, Samarkand (sekarang), Uzbekistan, Asia Tengah, pada 13 Syawal 194 H atau bertepatan pada 21 Juli 810 M. Tak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya. Kemudian, dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim AS yang mengatakan, ''Hai Fulanah, sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa.'' Ternyata, pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa kedua mata putranya telah bisa melihat kembali.

Iman Bukhari kecil dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ast-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang bersifat syubhat (samar) hukumnya, terlebih lagi terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermazhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, yaitu seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Sejak kecil, Imam Bukhari memang telah menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Dia mempunyai ketajaman ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia 10 tahun, Bukhari selalu datang dan mempelajari ilmu hadis kepada ad-Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam bidang tersebut. Setahun kemudian, ia mulai menghafal hadis Nabi SAW dan sudah mulai berani mengoreksi kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan hadis. Pada usia 16 tahun, dia telah menghafal hadis-hadis yang terdapat dalam kitab karangan Ibnu Mubarak dan karangan Waki' al-Jarrah.

Penelitian hadis
Guru-guru Imam Bukhari dalam bidang hadis sangat banyak. Ada yang menyebutkannya hingga mencapai lebih dari seribu orang. Imam Bukhari sendiri pernah mengatakan bahwa kitab al-Jami' as-Sahih atau yang terkenal dengan nama Sahih al-Bukhari disusun sebagai hasil dari menemui 1.080 orang guru ahli (sarjana) dalam bidang ilmu hadis.

Dalam mengambil sebuah hadis, Bukhari sangat hati-hati. Ia tidak mau asal mengambil sebuah hadis sebelum diteliti tingkat kesahihannya. Bagaimana kualitasnya, siapa perawinya, adil atau tidak perawi tersebut, dan apakah hadis itu bersambung ke Rasulullah SAW atau tidak? Jika hadis-hadis yang diterimanya tidak sampai bersambung (mutawatir), ia akan meninggalkannya walaupun dalam periwayatannya terdapat imam atau sahabat terkenal.

Karena itulah, ketelitiannya dalam menempatkan sebuah hadis menjadikan dirinya sebagai orang yang hati-hati. Hadis yang diakui oleh imam hadis lainnya, seperti Imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasai, dan Ahmad, belum tentu sahih menurut Bukhari. Dan, karena itu pula, kitab Sahih Bukhari yang ditulisnya menjadi rujukan pertama banyak ulama sebelum mengambil hadis sahih dari imam yang lain.

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadis sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun lamanya. Ia mengunjungi berbagai kota guna mendapatkan keterangan yang lengkap tentang suatu hadis, baik mengenai hadis itu sendiri maupun mengenai orang yang meriwayatkannya. Di antaranya, ia melawat dua kali ke daerah Syam (Suriah), Mesir, hingga Aljazair. Kemudian, ia melawat ke Basra empat kali. Lalu, menetap di Hijaz (Makkah dan Madinah) selama enam tahun dan berulang kali ke Kufah dan Baghdad.

Dari pertemuannya dengan para ahli hadis tersebut, Bukhari berhasil memperoleh hadis sebanyak 600 ribu buah. Dan, 300 ribu di antaranya telah dihafal oleh Bukhari. Hadis-hadis yang dihafalnya itu terdiri atas 200 ribu hadis yang tidak sahih dan 100 ribu hadis yang sahih. Karena itu, dalam kitab-kitab fikih dan hadis, hadis-hadis beliau memiliki derajat yang tinggi.

Maka, tak mengherankan jika Imam Bukhari menjadi ahli hadis yang termasyhur di antara para ahli hadis sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan, sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fi al-Hadits (pemimpin kaum Mukmin dalam ilmu hadis). Banyak ahli hadis yang berguru kepadanya, seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr, dan Imam Muslim.

Sering difitnah
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seluruh dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal Imam Muslim--seorang ahli hadis yang juga murid Imam Bukhari--kedatangan Bukhari pada tahun 250 H disambut meriah. Bahkan, juga oleh guru Imam Bukhari sendiri, Muhammad bin Yahya Az-Zihli.

Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menggambarkan, ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, dirinya tidak melihat kepala daerah, para ulama, dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari. Kemudian, terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.

Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara beliau disambut secara meriah. Namun, ternyata, fitnah kembali melanda. Kali ini, datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli, yang akhirnya gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Samarkand (Uzbekistan) yang memerintah saat itu, yaitu Ibn Tahir.

Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Sebelum ke Samarkand, ia singgah di sebuah desa kecil bernama Khartand untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun, di sana, beliau jatuh sakit hingga akhirnya wafat pada 30 Ramadhan 256 H atau bertepatan dengan 31 Agustus 870 M. dia/sya/berbagai sumber


Tokoh Utama Penghimpun Hadis Sahih

Di samping terkenal sebagai penghafal hadis, Imam Bukhari juga terkenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab al-Jami' as-Sahih atau Sahih al-Bukhari merupakan karangannya yang terpenting dan terbesar dalam bidang hadis. Para ulama menilai bahwa kitab Sahih al-Bukhari ini merupakan kitab hadis yang paling sahih. Karena kesahihan hadis-hadis yang dikumpulkannya, kitabnya senantiasa menjadi rujukan para ulama hadis. Bahkan, setiap hadis yang diriwayatkannya sudah tidak diragukan lagi kualitasnya.

Sesuai dengan namanya, kitab ini khusus memuat hadis-hadis sahih. Dari 100 ribu hadis yang diakuinya sahih, hanya 7.275 buah hadis yang dimuatnya dalam kitab tersebut. Jumlah inilah yang betul-betul diyakininya sebagai hadis-hadis sahih dan diakui pula oleh sebagian besar ahli hadis kenamaan.

Ketelitiannya yang begitu tinggi dalam periwayatan hadis tersebut menyebabkan para ulama hadis yang hidup sesudahnya menempatkan kitab Sahih al-Bukhari pada peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadis yang muktabar (terkenal). Mengenai ini, seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi, menuturkan, ''Suatu ketika, saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka'bah) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur, saya bermimpi melihat Nabi SAW. Beliau berkata kepada saya, 'Hai Abu Zaid, sampai kapan engkau mempelajari kitab as-Syafi'i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku?' Saya berkata, 'Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?' Rasulullah menjawab, 'Kitab Jami' karya Muhammad bin Isma'il'.''

Beberapa orang ulama hadis berikutnya juga telah memberikan komentar (syarah) mengenai kitab Sahih al-Bukhari ini. Kitab-kitab yang memuat syarah itu berjumlah 82 judul. Di antaranya yang terkenal adalah kitab Fath al-Bari karangan Ibnu Hajar al-Asqalani yang terdiri atas 13 jilid besar.

Karya Imam Bukhari lain yang terkenal di antaranya adalah al-Jami' as-Sahih, at-Tarikh as-Sagir, at-Tarikh al-Ausat, at-Tarikh al-Kabir, Tafsir al-Musnad al-Kabir, Kitab al-'Ilal, Kitab al-Du'afa, Asami as-Sahabah, dan Kitab al-Kuna. Semuanya mengenai hadis. Tidak hanya mengenai hadis, ia juga mengarang kitab mengenai akhlak, Kitab al-Adab al-Mufrad. Selain itu, ia menyusun kitab mengenai akidah, Kitab Khalq Af'al al-Ibad. dia/berbagai sumber

ISLAM DENGAN DEMOKRASI

Diringkas dan disarikan dari Mushtholahât wa Mafâhîm karya Syaikh `Abdul Âkhir Hammâd al-Ghunaimî hafizhahullâhu
Risalah ini adalah sebuah diskusi ilmiah seputar permasalahan demokrasi dan bagaimana sikap Islam terhadapnya. Yang mendorong saya menulis risalah ini adalah adanya artikel-artikel yang ditulis oleh al-Ustadz Fahmî Huwaidî (salah seorang kolumnis dan penulis senior dan terkenal di Mesir, pen.) yang mengajak untuk berkompromi dengan demokrasi, ketimbang menentang dan mengabaikannya.
Awal mulanya, ada salah satu artikelnya yang menunjukkan bahwa dirinya menganggap Islam itu dizhalimi ketika ada yang beranggapan bahwa Islam itu bertentangan dengan Demokrasi, dan pada akhirnya, artikelnya tersebut menunjukkan pengingkarannya terhadap aktivis muslim yang menolak demokrasi dan menganggap penolakan mereka ini sebagai suatu hal yang syâdz (aneh/ganjil) terhadap seruan Islam secara umum.
Oleh sebab isu demokrasi ini merupakan salah satu hal yang tengah diperbincangkan di dunia Islam dan banyak sekali perdebatan mengenainya akhir-akhir ini, disamping juga adanya orang yang memutlakkan pendapatnya bahwa Islam itu identik dengan sistem demokrasi, bahkan mereka beranggapan bahwa menentang demokrasi itu adalah suatu hal yang syâdz, maka hal ini perlu dikritisi dan dijelaskan. Saya memandang perlunya untuk membantah beberapa hal yang cukup urgen di sini, yang terangkum dalam beberapa poin berikut ini :
1.Penjelasan sikap yang syar’î terhadap demokrasi beserta bukti dan dalil-dalilnya.
2.Penjelasan bahwa sikap menolak demokrasi ini apakah termasuk sikap yang diserukan kaum muslimin secara umum ataukah sikap yang aneh/ganjil
3.Demokrasi itu merupakan sisi lain dari kediktatoran.
Sikap yang syar’î terhadap demokrasi
Tatkala Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah ditanya tentang pasukan Tatar (Mongol), beliau menjelaskan bahwa hukum kepada mereka dibangun di atas dua pondasi, yaitu : pertama, mengetahui perihal/keadaan mereka, dan kedua, mengetahui hukum Alloh terhadap orang semisal mereka. (Majmû’ Fatâwâ 28:554)
Sejatinya, metoda yang ditempuh oleh Syaikhul Islâm ini adalah metoda yang wajib kita tiru di dalam semua keadaan disertai dengan pemaparan hukum syar’î tentangnya. Oleh karena itu, kita juga mengatakan di dalam permasalahan yang tengah kita bahas ini, bahwa kita harus mengetahui tentang seluk beluk demokrasi, baik konsep dan praktisnya, kemudian berangkat dari hal ini kita dapat mengetahui hukum Alloh tentangnya dari nash-nash syari’at yang lurus.
Apakah Demokrasi itu?
Sesungguhnya, suatu hal yang telah diketahui oleh setiap pelajar pemula yang mempelajari studi pemikiran politik, bahwa demokrasi itu berasal dari derivasi dua kata Yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat (arab : asy-Sya’b) dan Kratas yang berarti kekuasaan (arab : as-Sulthoh). Jadi arti demokrasi adalah yang berwenang/memiliki kekuasaan untuk menentukan suatu hukum adalah rakyat.
Bangsa yang pertama kali menerapkan demokrasi adalah bangsa Greek (Yunani) yang mereka menyebutnya dengan pemerintahan kota (sipil) yang dilaksanakan di kota Athena dan Sparta, dimana setiap individu masyarakat dari kalangan laki-laki turut berperan serta di dalam menentukan hukum terhadap segala sesuatu, seperti di dalam pemilihan penguasa, membuat undang-undang dan lain sebagainya. inilah bentuk sistem demokrasi yang pertama, yaitu berjalan secara langsung dimana setiap individu dapat turut serta secara langsung di dalam menelorkan sebuah hukum atau peraturan, tanpa perlu memilih dewan perwakilan untuk mewakili mereka.
Bentuk sistem demokrasi ini telah berakhir dalam waktu singkat, seiring dengan berakhirnya pemerintahan kota di Athena dan Sparta. Akan tetapi ide dan pemikiran demokrasi masih tetap terjaga di memori sejarah sampai abad renaissance (kebangkitan) di Eropa, khususnya pasca revolusi Perancis, dimana bangsa Eropa mulai melakukan perombakan dan perubahan dari keadaannya yang berada di bawah cengkeraman kerajaan dan kezhaliman gereja. Perubahan tersebut adalah dengan mulainya mereka mengekstraksi sistem demokrasi dari perbendaharaan sejarah. Hal ini oleh sebab mereka tidak memiliki konsep agama yang benar sehingga mereka dapat berhukum dengannya.
Kemudian mulailah dilakukan beberapa revisi terhadap bentuk demokrasi yang pertama, sehingga menjadi sistem demokrasi yang tidak langsung. Maksudnya, rakyat harus memilih dewan perwakilan untuk mewakilinya di dalam menentukan hukum dan pembuatan undang-undang/ legislasi. Kemudian ada juga (yang dalam perkembangannya) menjadi sistem demokrasi semi-langsung, artinya rakyat tetap memilih dewan perwakilan untuk mewakili aspirasinya, namun selain itu dirinya masih memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya terhadap kebijakan penguasa melalui referendum publik atau yang semisalnya.
Konsekuensinya adalah, eksisnya partai-partai politik yang saling berkompetisi untuk meraih kemenangan dengan cara menggalang suara terbanyak, agar dapat mencapai kursi kekuasaan. Selain itu juga diperkenalkan sejumlah jaminan dan hak-hak yang menjamin kebebasan setiap individu, diantaranya adalah hak politik di dalam memberikan suara, mencalonkan diri di dalam majelis parlemen, kantor publik dan selainnya. Namun, substansi dari demokrasi adalah tetap, sebagaimana demokrasi merupakan derivat dari bahasa aslinya, yaitu rakyatlah yang membuat undang-undang dan legislasi, baik secara langsung maupun tidak.
Ketetapan di dalam sistem perundangan demokrasi, selaras dengan apa yang ditetapkan oleh para pengamat politik bahwa seharusnya dewan perwakilan itu dianggap sebagai representasi kehendak rakyat, akan tetapi sering kali hal ini tidak dapat terjadi, atau seperti dalam uraian al-Ustâdz al-Maudûdî tetang pemilu di negara barat :
“Pemilu ini tidak akan sukses, kecuali dengan menipu manusia, memperdaya akal dan hati mereka dengan harta, pengetahuan, kecerdasan dan propaganda palsu… kemudian mereka yang sukses terpilih, berubah menjadi tuhan-tuhan bagi mereka, yang mensyariatkan undang-undang sekehendak mereka, bukan untuk kemaslahatan orang banyak, namun untuk kepentingan pribadi dan keuntungan partainya. Ini sungguh merupakan penyakit akut yang menjangkiti negara Amerika, Inggris dan seluruh negeri yang hari ini menyebutnya sebagai surga demokrasi.” (Nazhoriyah al-Islâm as-Siyasiyah hal. 18).
Demikianlah yang terjadi di dalam demokasi pada bentuk asalnya, apabila kita berpindah kepada sistem demokrasi dalam versinya yang palsu, maksud saya adalah sistem demokrasi yang timpang yang lazim terjadi pada negeri kaum muslimin, sejatinya hanyalah kedok untuk menutupi hukum diktatorisme dan kesewenang-wenangan mereka. Kita akan mengungkap bahwa esensinya adalah tetap sama-sama demokrasi, yaitu manusia-lah yang mensyariatkan hukum kepada manusia lainnya. Dewan Perwakilan Rakyat di Mesir contohnya, yang memiliki kewenangan legislatif sebagaimana tercantum pada pasal 86 dari konstitusinya, tertulis : “Demokrasi adalah kedaulatan tertinggi rakyat.”
Sama juga dengan majelis parlemen di negeri ini, mereka membuat undang-undang menurut kehendak anggotanya secara bebas/merdeka atau dari pemerintah yang mendiktenya. Hasilnya tetap satu, yaitu bahwa manusia-lah diberikan hak untuk membuat legislasi dan meletakkan undang-undang.
Setelah paparan di atas yang menjelaskan arti demokrasi, sisi historis dan realitasnya, maka kami dapat menjelaskan hukum syar’î di dalamnya, yang terangkum dalam beberapa hal di bawah ini :
Pertama : Masalah Tasyrî’ (Legislasi/Perundan g-undangan)
Esensi dari demokrasi menurut kami adalah : memberikan hak tasyrî’ (legislasi) kepada manusia dan manusia berhak membuat hukum bagi diri mereka sendiri menurut kehendak dan keinginan mereka. Kemampuan untuk membuat legislasi ini menurut kami adalah pasti ada di dalam seluruh bentuk sistem demokrasi.
Masalah legislasi ini merupakan substansi perbedaan antara Islam dengan demokrasi. Islam secara tegas dan terang-terangan menyatakan bahwa hak legislasi itu adalah murni hak Alloh semata. Yang haram adalah apa yang diharamkan Alloh dan yang halal adalah apa yang dihalalkan Alloh. Masalah ini bukanlah permasalahan furû’ (cabang) sebagaimana diduga oleh sebagian orang, namun masalah ini adalah masalah yang berkaitan dengan pokok aqidah. Bagi orang yang masih memperdebatkan masalah ini, silakan merenungi firman Alloh Azza wa Jalla berikut :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?” (QS asy-Syûrâ : 21)
Dan firman-Nya :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. ” (QS an-Nisâ` : 60)
Dan firman-Nya Ta’âlâ :

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidaklah dikatakan beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisâ` : 65)
Syaikh Muhammad bin Ibrâhîim rahimahullâhu berkata tentang ayat ini di dalam Risâlah Tahkîmu al-Qowânîna :
“Alloh Subhânahu telah meniadakan keimanan seseorang yang tidak mau berhukum dengan nabi terhadap perkara yang mereka perselisihkan dengan penafian yang ditekankan (nafyan mu`akkadan) dengan pengulangan yang disertai dengan sumpah.” (Risâlah Tahkîmu al-Qowânîna hal. 5)
Ibnu Katsîr rahimahullâhu menukilkan sebuah konsensus (ijmâ’) atas kafirnya orang yang menjadikan bagi dirinya syariat selain syariat Alloh. Beliau berkata ketika membicarakan tentang hukum al-Yasa yang diterapkan oleh Jengis Khân untuk menghukumi para pengikutnya :
“Barangsiapa yang meninggalkan syariat yang diturunkan kepada Muhammad bin `Abdillâh penutup para nabi, dan berhukum dengan selain syariat beliau dari syariat-syariat kafir yang telah di-mansûkh (dihapus hukumnya dengan Islam) maka ia telah kafir. Lantas bagaimana kiranya dengan orang yang berhukum dengan al-Yasa dan lebih mendahulukannya (ketimbang syariat Nabi)? Barangsiapa yang melakukan hal ini maka telah kafir dengan kesepakatan (ijmâ’) kaum muslimin.” (al-Bidâyah wah Nihâyah 13:128)
Apabila perkaranya telah jelas seperti ini, maka kami mengajukan pertanyaan kepada para aktivis Islam yang menyeru kepada demokrasi, yaitu : siapakah yang berhak menentukan hukum di dalam masyarakat demokrasi yang kini tengah Anda gembar-gemborkan ini? Apakah boleh manusia membuat syariat untuk diri mereka sendiri selain syariat Alloh?
Apabila Anda mengatakan bahwa manusia memiliki hak untuk membuat syariat bagi diri mereka sendiri sekehendak mereka, maka kami katakan : apakah Anda murka terhadap Rabb anda sendiri dan Anda menentang keislaman sendiri lalu Anda mengatakan sebuah ucapan yang sangat besar ini! (yaitu ucapan kufur, pen).
Dan apabila Anda mengatakan : “bahkan kami menghendaki dengan sistem demokrasi ini untuk tidak memberikan hak tasyrî’ (legislasi) kepada manusia selain dari syariat Alloh, karena sesungguhnya tidak ada hukum melainkan hanya milik Alloh.” Maka kami jawab : kalau begitu, hal yang Anda sebutkan tersebut bukanlah demokrasi, namun Islam, dan janganlah Anda mencari nama-nama yang lain (bagi Islam) ataukah Anda merasa tidak cukup dengan nama yang telah Alloh berikan (yaitu Islam)?
Apabila ada ulama kontemporer yang mengatakan :
“Orang-orang yang pro demokrasi tidaklah otomotatis mereka ini menolak hâkimiyah Alloh dan memberikannya kepada manusia. Mayoritas orang yang menyerukan demokrasi tidaklah terlintas ke dalam pikiran mereka bahwa mereka memaksudkan dan membatasi
tujuannya kepada demokrasi, namun mereka bermaksud menolak kediktatoran… ” (Ustadz Fahmî Huwaidî menukilkan ucapan ini dari DR. Yûsuf al-Qaradhâwî dalam harian al-Ahrâm tanggal 18/8/1992).
Maka kami katakan kepada beliau : Kami, tidak pula terlintas di benak kami sedangkan kami menolak demokrasi, bahwa ada suatu bentuk demokrasi yang kosong esensinya dari memberikan hak legislasi kepada manusia itu sendiri. Dan bentuk demokrasi seperti ini, sejauh pengetahuan kami belum pernah ada sepanjang sejarah dan realitas. Barangsiapa yang tetap bersikeras di dalam imajinasinya bahwa bentuk seperti ini ada dan merupakan bagian dari demokrasi, kemudian ia menghukumi untuk menerimanya, maka silakan lakukan! Namun, ia tidaklah punya hak untuk menyalahkan orang lain yang yang bersandar kepada realitas, yang berpandangan bahwa demokrasi itu esensinya menyelisihi syariat Alloh lalu menolak sistem demokrasi ini.
Kami ketika menolak sistem demokrasi, hal ini disebabkan bahwa kami memandang demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Dan kami tidaklah menetapkan hal ini untuk menvonis aktivis-aktivis Islam yang pro demokrasi, yang tertipu dan merasa bahwa masih ada kemungkinan bagi mereka untuk mendukung demokrasi sebagai suatu hukum sedangkan pada saat yang sama mereka beranggapan bahwa mereka mampu menjaga pokok keislaman mereka. Akan tetapi, kami mengatakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh al-Ustadz Muhammad Quthb :
“Di dunia Islam ini, ada para penulis, pemikir dan du’at yang ikhlas, yang tertipu dengan demokrasi. Mereka mengatakan : kami mengambil dari demokrasi ini hal-hal positifnya dan meninggalkan hal-hal yang negatifnya (keburukannya) . Mereka mengatakan : kami mengikat demokrasi ini dengan wahyu yang diturunkan Alloh, kami tidak memperbolehkan ilhâd (atheisme) dan tidak memperbolehkan degradasi moral dan pelanggaran hukum. Jika demikian keadaannya, maka ini sekali-kali bukanlah demokrasi, namun ini adalah Islam. Karena sistem demokrasi itu adalah hukum dari rakyat melalui rakyat dan untuk rakyat. Rakyat juga turut memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang (baik secara langsung maupun tidak langsung, pen). Apabila hal ini ditiadakan atau diikat dengan suatu batasan, maka hal ini sekali-kali bukanlah demokrasi sebagaimana yang tengah berlangsung di zaman ini dengan nama ini.
Tanyakanlah kepada aktivis demokrasi, katakan kepada mereka : kami menghendaki untuk berhukum dengan wahyu yang diturunkan Alloh, tidak ada hak bagi rakyat ataupun dewan perwakilan untuk membuat undang-undang melainkan apabila tidak ada nash dari al-Qur`ân, Sunnah dan ijmâ’ (kensensus) dari ulama kaum muslimin… niscaya mereka akan menjawab secara spontan : “Sesungguhnya ini bukanlah demokrasi yang kami ketahui. Di dalam demokrasi itu manusia berhak membuat undang-undang di dalam segala urusan…” Mereka juga akan berkata : “Carilah nama lain yang kalian kehendaki… tapi jangan nama demokrasi!” Jika demikian keadaannya, kenapa kita tetap bersikeras menamai undang-undang yang kita kehendaki dengan nama demokrasi? Kenapa tidak kita namai saja dengan Islam?” (Madzâhib Fikriyah Mu’âshirah hal. 253-254)